Kampung Adat Urug | | | |
Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
Kampun Adat Urug berloksi di Kampung Urug Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya. Jarak tempuh dari Cibinong sekitar 42 km, arahnya menuju Wilayah Barat pada pertigaan
Kecamatan Cigudeg. Arah Barat Daya menuju Kecamatan Sukajaya ±15 km dan dari Kecamatan ini ditempuh lagi jarak ±9 km untuk menuju lokasi tersebut.
Kampung Urug merupakan sisa peradaban masa silam yang sampai saat ini nilai – nilai ketradisiannya masih dipertahankan.
Tali tradisi budaya lama yang masih dipegang kokoh oleh masyarakat itu adalah :
1. Pola Pemukiman :
a. Seni Bangunan :
Merupakan perumahan yang mencirikan rumah adat dengan persamaan bahan yang dipakai serta bentuk rumah yang mempunyai kolong serta lumbung padi yang bernama leuit.
b. Arsitektur bangunan :
Bentuk rumah yang bercirikan pada tradisi kesundaan ( julang ngapak dan jago anjing ).
2. Kekerabatan :
Yang menempati tempat tinggal di Kampung Urug, satu sama lain adalah masih saudara, di kampung ini dikenal dengan sebutan Tatali Kahuripan.
3. Kepemimpinan :
Disana dibangun sebuah rumah besar/ Gedung Ageung yang merupakan sentral/pusat kewenangan kepemimpinan adat, disamping itu terdapat pula Gedong Alit dan Gedong Pangkaleran. Kepemimpinan adat dipegang oleh Ki Kolot Ukat, yang merupakan keturunan ke 9 dari turunan terdahulunya. Ada 3 kepemimpinan yang mengendalikan keberadaan kampung adat ini antara lain :
a. Kikolot Ukat atau disebut juga Kokolot Leubak, mempunyai tugas mengendalikan dan mempertahankan adat istiadat yang sudah turun temurun antar lain : Acara seren taun, ruwatan, hari – hari besar kaum muslimin dan memimpin kegiatan yang dianggap sakral.
b. Kikolot Amat atau disebut juga Kokolot Tengah, bertugas mengatur masyarakat, pengerahan masa dan memberikan petunjuk bagi kesepakatan adat yang sedang dijalankan.
c. Kikolot Tengah bernama Rajaya disamping menjalankan petunjuk untuk penanaman padi secara turun temurun dalam kesempatan ini beliau juga mempertahankan adat istiadat urug, selalu berperan sebagai “ pencerita “. Sejarah Kampung Urug, silsilah, riwayat yang berhubungan dengan nilai – nilai tradisional Kampung Urug serta cerita yang mengaitkan raja – raja Pajajaran dengan Kampung Urug.
4. Riwayat Kampung Urug :
Urug bukan terucap nama dengan begitu saja, dibalik kata itu tersembunyi kata “ GURU “ ; menurut pikukuh adat kepercayaan Kampung Urug, sudah berdiri sejak 450 tahun yang lalu, adanya sebuah mandala urug dengan masyarakatnya yang berpegang teguh kepada adat istiadat akan memegang suatu keteladanan kesundaan. Menurut cerita Kampung Urug sejaman dengan masa pemerintahan Prabu Nilakendra ( 1551 – 1569 M ) beliau seorang raja alim dan bijaksana dan banyak mengabdi pada hal – hal kegaiban, konon sisa – sisa pengabdiannya diantaranya patilasan raja masih ada di Kampung Urug, umumnya patilasan disebut Kabuyutan atau mandala yaitu suatu tempat yang jauh dari keramaian yang dijadikan tempat berkhalwat atau memuja sang maha pencipta adalah mungkin hal ihwal mula adanya mandala urug dimulai dari Gedong Ageung.
Menurut data yang ada Kampung Adat Urug mempunyai tingkat kunjungan wisata rata – rata 80 – 100 orang setiap bulan dan jika pada hari – hri besar bisa mencapai 600 – 800 orang per hari. (Thanks to http://www.wisatakabupatenbogor.com/index.php?option=com_content&task=view&id=27&Itemid=25)
Seni Budaya
Seni tradisional khas Kabupaten Bogor Barat, di antaranya adalah Angklung Gubrag, seni ini merupakan perpaduan antara Pencak Silat dan seni memainkan angklung yang ukurannya lebih besar dari biasanya. Angklung ini hanya terdapat di Kabupaten Bogor. Terletak di Kampung Cipining Desa Argamulya Kecamatan Cigudeg. Selain itu di Kabupaten Bogor juga terdapat Upacara Seren Taun, yang merupakan acara tahun-an, dalam menyambut pergantian tahun baru Islam dan panen raya, terdapat di Kampung Sindang Barang Kecamatan Taman Sari.
(Dikutip dari http://campfireindonesian.forumotion.net/seni-dan-budaya-f14/suku-sunda-di-tnghs-t12.htm)
Jumlah penduduk di dalam dan sekitar kawasan TNGHS lebih dari 250.000 jiwa. Masyarakat lokal yang ada umumnya adalah suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan bukan kasepuhan. Untuk masyarakat kasepuhan, secara historis penyebaranya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat kasepuhan masih memiliki susunan organisasi secara adat yang terpisah dari struktur organisasi pemerintahan.
Bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat lokal adalah bahasa Sunda dan mayoritas penduduknya beragama Islam walau masih terdapat yang menganut kepercayaan lama (sunda wiwitan). Masyarakat kasepuhan di TNGHS merupakan bagian dari warisan budaya nasional. Mereka masih memegang teguh adat kebudayaan nenek moyangnya terlihat dalam keseragaman kehidupan sehari-hari, arsitektur rumah, sistem pertanian dan interaksi dengan hutan.
Untuk mencapai desa-desa tersebut dengan kendaraan umum, baik dari Jakarta atau Bogor, dibutuhkan waktu empat hingga delapan jam. Kadangkadang kita harus berjalan kaki satu atau dua jam karena kondisi jalan masih berbatu kasar.
Semangat bergotong royong masih sangat kuat di beberapa wilayah termasuk pada sistem bertani mereka. Sudah biasa masyarakat bekerjasama dalam keluarga dan tetangga apabila tenaga kerja, komoditas / bahan-bahan pertanian dan makanan tidak mencukupi.
Kehidupan sehari-hari masyarakat bergantung pada sistem pertanian tradisional. Masyarakat umumnya memanfaatkan hutan dan lahan dalam berbagai cara, yaitu seperti huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun dan talun. Adapun hasil utama pertanian masyarakat kasepuhan adalah padi lokal dan biasanya sebagai rasa syukur setiap selesai panen dilakukan pesta panen seren taun.
Pengetahuan dan penggunaan jenis-jenis padi lokal menunjukkan pentingnya beras sebagai bahan makanan pokok sehari-hari. Siklus penanaman secara tradisional adalah sebagai berikut: Setelah menebang hutan primer, hutan sekunder atau semak, lahan yang telah dibersihkan tersebut kemudian dijadikan huma atau ladang selama beberapa tahun. Di dataran tinggi padi ditanam sebagaimana halnya sayur-sayuran seperti : jagung, singkong ataupun kacangkacangan. Padi dipanen satu kali dalam setahun dan sayur-sayuran beberapa kali dalam setahun. Setelah panen, tergantung pada kondisi tanah, masyarakat memutuskan apakan berladang lagi atau tidak. Keputusan mereka berdasarkan pada kondisi kandungan air dalam lahan tersebut yang tergenang di atas tanah. Apabila air mencukupi maka mereka mengubah lahan tersebut menjadi sawah. Dengan demikian ekosistem alami menjadi hilang, karena sawah digarap terus menerus. Dan apabila air tidak mencukupi, maka lahan akan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak diubah menjadi jami (tanaman sekunder) untuk satu atau dua tahun. Di lahan ini padi tidak ditanam sama sekali, melainkan tanaman menahun (tanaman tahunan) yang ditanam. Setelah lahan digunakan ‘jami’, ada dua alternatif yang akan dipakai, pertama adalah meninggalkan lahan tanpa dipotong atau dibersihkan. Semak dibiarkan selama 3 - 4 tahun yang disebut ‘reuma ngora’ (semak belukar). Sedangkan semak yang dibiarkan selama lebih dari 4 tahun disebut ‘reuma kolot’ (hutan sekunder).
Pembagian ini berdasarkan pada tahapan suksesi tumbuhan. Setelah itu, lahan tertutup secara alami menjadi hutan sekunder dengan pepohonan tinggi. Jadi siklus penggunaan hutan pun telah berakhir. Cara atau alternatif yang kedua adalah menggunakan lahan untuk kebun, yaitu setelah jami dipanen. Di kebun ini tanaman menahun ditanam untuk kebutuhan sehari-hari. Buah-buahan seperti pisang, durian, anakan pohon alami dan pohon-pohon yang pertumbuhannya cepat yang digunakan untuk konstruksi rumah serta tanaman berguna seperti bambu dan rotan juga ditanam untuk kebutuhan sehari-hari.
Setelah lahan digunakan untuk berkebun selama beberapa tahun, maka pohonpohon yang ditanam menjadi tinggi dan kebun ini disebut juga kebun talun. Pada lapisan bawah dari kebun talun, terus ditanami tanaman menahun. Dengan adanya suksesi pohon-pohon tersebut, kanopi pohon menjadi tertutup dan keadaan ini disebut talun. Pada tahap ini hanya ada beberapa tanaman menahun, karena di bagian bawah menjadi gelap. Masyarakat biasanya menanam buah-buahan seperti pisang dan durian, juga menyadap air nira dari pohon kawung (aren). Pengambilan air nira ini tidak hanya untuk dikonsumsi saja tetapi juga untuk dijual ke pasar.
Masyarakat kasepuhan menggunakan dan melindungi hutan berdasarkan konsep turun-temurun seperti adanya ‘leuweung titipan’ (hutan titipan), ‘leuweung tutupan’ (hutan tutupan) dan ‘leuweung sampalan’ (hutan bukaan). Mereka masih memiliki interaksi yang kuat dengan hutan sekitarnya. Mereka juga mempunyai pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka. Mereka mengetahui lebih dari 400 jenis dan menggolongkannya berdasarkan penggunaannya seperti bahan bangunan, kayu bakar, bahan dan alat pertanian, obat-obatan, makanan, upacara adat dan lain-lain. Sejak dari dahulu hingga sekarang, pengetahuan tersebut sudah diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Hal ini jelas sekali bahwa masyarakat lokal masih mengandalkan pada tumbuhtumbuhan dari hutan. Dilemanya, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di sekitar TNGHS baik yang masyarakat lokal maupun masyarakat pendatang, saat ini penggunaan tumbuhtumbuhan dan satwa dari hutan sudah tidak sesuai dengan kondisi umum sumber daya hutan yang semakin terbatas, karena dapat mengancam keutuhan hutan dan sumber daya air masyarakat.
Untuk itu ditetapkannya pengelolaan taman nasional agar dapat mengakomodir antara kebutuhan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan TNGHS dengan menetapkan adanya pembagian zonasi. Di dalam taman nasional dibagi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona khusus, sedangkan di luar taman nasional biasa ditetapkan sebagai zona penyangga. Dengan adanya zonasi dapat memberi kepastian bagi masyarakat untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas di zona pemanfaatan, zona khusus dan zona penyangga. Seperti pengembangan kampung-kampung yang berorientasi konservasi dengan mengadakan berbagai aktivitas konservasi seperti penanaman pohon-pohon asli yang bermanfaat, energi alternatif, ekowisata dan program ekonomi berkelanjutan.
Secara jangka pendek aktivitas di atas dapat membantu masyarakat untuk menjalakan kehidupannya tanpa menyebabkan kerusakan hutan. Sedangkan dalam jangka panjang, kegiatan pendidikan lingkungan dan peningkatan kesadaran konservasi untuk masyarakat akan dapat menumbuhkan rasa menghargai terhadap kekayaan hutan sekitar mereka dan juga akan efektif bagi konservasi keanekaragaman hayati TNGHS di masa mendatang.
Kampung Urug
Luncat ka: pituduh, sungsi
(Dikutip dari http://su.wikipedia.org/wiki/Kampung_Urug) Kampung Urug nu posisina kira-kira 40 km ti puseur kota Bogor ka palih kulon, sacara administratif lebet ka Désa Kiara Pandak, Kacamatan Sukajaya, Kabupatén Bogor. Di kampung ieu masih kénéh aya tata cara kahirupan adat karuhun nu dipiara ku masarakatna. Sahenteuna aya tujuh kagiatan kaagamaan nu dipigawé ku urang Kampung Urug, nyaéta "Sidekah bumi" (nalika badé tani/tandur), "Sérén taun" (saparantos panén), "Rowahan", "Muludan", "Muharaman", "Idul Adha" jeung "Lebaran" (Idul Fitri).
Sidekah bumi jeung Sérén taun masih aya patalina jeung budaya karuhun. Dina wengian ngarayakeun acara ieu, biasana sok dicarioskeun deui riwayat karuhun maranéhna, utamana riwayat sajarah Prabu Siliwangi nalika ngalalana ti dayeuh Pakuan dugi ka Kampung Urug. Biasana kokolot adat nyarita ti ngawitan ba'da isya dugi ka badé subuh.
Nalika acara lumangsung, susuguhna mangrupa kadaharan khas daerah ieu, saperti wajit, opak, kadaharan tina ketan jeung hasil kebon masarakat di dinya, maksadna pikeun nyuguhan tatamu nu sumping ti luar Kampung Urug.
Énjingna, Sidekah bumi dikawitan ku acara ngawurkeun panglay kana bibit pare nu bade ditandur ku istri para kokolot. Teras dituluykeun ku meuleum menyan, anu saméméhna diayakeun tawasul ka Nabi Muhammad SAW. Jampé nalika ngawurkeun panglay kana bibit paré nyaéta solawat jeung sahadat (?).
Istri kokolot anu jadi lalakon utama dina acara tandur ieu, nyoko kana filosofi yén Déwi Sri anu masihan kasuburan/kahirupan ka paré nu ditandur. Numutkeun riwayat para kasepuhan Kampung Urug, Déwi Sri ieu téh putri Prabu Siliwangi anu pupus nalika akil balég.
Dina taun 2003 Kampung Urug parantos kabagi jadi tilu wilayah, nyaéta: Urug Lebak nu dikokolotan ku Kolot Adang, Urug Tengah dipingpin ku Kolot Mamat, jeung Urug Tonggoh ku Kolot Kayod.
Data nu aya di Désa Kiara Pandak, Kampung Urug legana salapan héktar, dieusi ku 692 KK atawa 2864 jiwa. Masarakatna 85% kana tani, ari sésana seuseueurna dagang jeung buruh tani.
Kampung Urug
Lokasi dan Keadaan Alam
(dikutip dari http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=17&Itemid=2). Secara administratif, Kampung Urug termasuk ke dalam wilayah Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Dialiri tiga buah sungai, yakni Sungai Ciapus, Sungai Cidurian, dan anak sungai Ciapus. Luas
wilayahnya berbatasan dengan daerah-daerah sekitarnya, yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Tajur; sebelah selatan berbatasan dengan Mandaya; sebelah barat berbatasan dengan Pasirmadang; dan di sebelah timur berbatasan dengan Pasirpeuteuy.
Keadaan temperatur I suhu udara di Kampung Urug berkisar antara 24-28 derajat celcius dengan suhu udara pada slang hari rata-rata 28 derajat celcius dan malan hari rata-rata sekitar 24 derajat celcius. Beriklim tropis terdiri atas dua musim, yaitu musim hujan jatuh pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau jatuh pada bulan April-September. Musim penghujan berlangsung selama Iebih kurang enam bulan dengan angka rata-rata curah hujan yang tinggi mengakibatkan tanah pertanian di Kampung Urug dan sekitarnya menjadi subur.
Jarak tempuh Kampung Urug dari Ibukota provinsi Jawa Barat lebih kurang 165 kilometer ke arag barat. Jarak dari Ibukota Kabupaten Bogor Iebih kurang 48 kilometer, dari kota kecamatan Sukajaya lebih kurang 6 kilometer, sedangkan dari kantor Desa Kiarapandak Iebih kurang 1,2 kilometer. Kondisi jalan dari kantor kecamatan Sukajaya ke Kampung Urug berbelok-belok naik turun mengikuti lereng bukit dengan badan jalan yang sempit. Sepanjang jalan dari kantor kecamatan ke kantor kepala desa Kiarapandak sudah beraspal, namun sebagian besar rusak berat. Jalan dari kantor desa ke kampung Urug, beraspal dan kondisinya cukup baik.
Ke lokasi dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Adapun menggunakan angkutan umum dari pertigaan JasingaLeuwiliang Leuwiliang menuju ke Cipatat. Dipertigaan jalan raya Cipatat dan jalan desa bisa menggunakan ojeg sampai ke kampung Urug, atau bisa juga menggunakan mobil Carry dari Jasinga - Leuwiliang sampai ke kampung Urug.
Mobilitas penduduk dari dalam ke luar atau dari luar ke dalam tidak begitu tinggi sehingga eksistensinya tidak mudah kentara dari Iuar. Akan tetapi tidak berarti sikap warga setempat bersifat tertutup kepada para pendatang, hal ini terbukti dari sikap ramah tamah mereka yang spontan kepada para tamu ataupun orang luar yang akan menetap di sana. Sementara itu ada sebagian warga yang merantau ke Bogor atau Jakarta untuk mencari nafkah namun jumlahnya sedikit.
| |
Click to view another photos... | |
Riwayat Kampung Urug : Urug bukan terucap nama dengan begitu saja, dibalik kata itu tersembunyi kata “ GURU “ ; menurut pikukuh adat kepercayaan Kampung Urug, sudah berdiri sejak 450 tahun yang lalu, adanya sebuah mandala urug dengan masyarakatnya yang berpegang teguh kepada adat istiadat akan memegang suatu keteladanan kesundaan. Menurut cerita Kampung Urug sejaman dengan masa pemerintahan Prabu Nilakendra ( 1551 – 1569 M ) beliau seorang raja alim dan bijaksana dan banyak mengabdi pada hal – hal kegaiban, konon sisa – sisa pengabdiannya diantaranya patilasan raja masih ada di Kampung Urug, umumnya patilasan disebut Kabuyutan atau mandala yaitu suatu tempat yang jauh dari keramaian yang dijadikan tempat berkhalwat atau memuja sang maha pencipta adalah mungkin hal ihwal mula adanya mandala urug dimulai dari Gedong Ageung. Menurut data yang ada Kampung Adat Urug mempunyai tingkat kunjungan wisata rata – rata 80 – 100 orang setiap bulan dan jika pada hari – hri besar bisa mencapai 600 – 800 orang per hari. Kepemimpinan : Sebuah rumah besar/ Gedung Ageung yang merupakan sentral/pusat kewenangan kepemimpinan adat, disamping itu terdapat pula Gedong Alit dan Gedong Pangkaleran. Kepemimpinan adat dipegang oleh Ki Kolot Ukat, yang merupakan keturunan ke 9 dari turunan terdahulunya. Ada 3 kepemimpinan yang mengendalikan keberadaan kampung adat ini antara lain : a. Kikolot Ukat atau disebut juga Kokolot Leubak, mempunyai tugas mengendalikan dan mempertahankan adat istiadat yang sudah turun temurun antar lain : Acara seren taun, ruwatan, hari – hari besar kaum muslimin dan memimpin kegiatan yang dianggap sakral. b. Kikolot Amat atau disebut juga Kokolot Tengah, bertugas mengatur masyarakat, pengerahan masa dan memberikan petunjuk bagi kesepakatan adat yang sedang dijalankan. c. Kikolot Tengah bernama Rajaya disamping menjalankan petunjuk untuk penanaman padi secara turun temurun dalam kesempatan ini beliau juga mempertahankan adat istiadat urug, selalu berperan sebagai “ pencerita “. Sejarah Kampung Urug, silsilah, riwayat yang berhubungan dengan nilai – nilai tradisional Kampung Urug serta cerita yang mengaitkan raja – raja Pajajaran dengan Kampung Urug. Kekerabatan : Masyarakat Kampung Urug satu sama lain adalah masih saudara, di kampung ini dikenal dengan sebutan Tatali Kahuripan. Kehidupan sehari-hari masyarakat bergantung pada sistem pertanian tradisional. Masyarakat umumnya memanfaatkan hutan dan lahan dalam berbagai cara, yaitu seperti huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun dan talun. Adapun hasil utama pertanian masyarakat kasepuhan adalah padi lokal dan biasanya sebagai rasa syukur setiap selesai panen dilakukan pesta panen seren taun. Masyarakat Kampung Urug menjalakan kehidupannya sangat memetingkan kelangsungan hidup dimasa yang akan datang dengan prinsip yang sudah mendarah daging secara turun temurun untuk tidak merusak hutan sekelilingnya. Kisah nyi pohaci dan budaya padi versi kampung urug, bogor Kampung Urug Masih Keturunan Prabu Siliwangi? Penemuan Hari jadi Bogor yang jatuh pada 3 Juni merupakan salah satu karya besar Sejarawan Bogor, Alm. Drs. Saleh Danasasmita yang sangat tekun mempelajari Sejarah Bogor. Dalam bukunya, Saleh mengatakan bahwa pada tanggal itu terjadi pemindahan pemerintahan dari Kawali, Ciamis ke Pakuan ( Bogor). Adanya penyatuan Kerajaan Sunda Galuh dan Pakuan menjadikan, Prabu Dewata bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji Pakuan Pajajaran atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Kebesaran Prabu Siliwangi tak pupus oleh waktu tak lekang oleh zaman, bahkan saat inipun banyak sekali kelompok masyarakat yang selalu mengkaitkannya dan mengklaim sebagai turunan dari Prabu Siliwangi (seuweu siwi Siliwangi). Selain itu ada juga kelompok masyarakat yang "biasa" berkomunikasi dengan Eyang Prabu yang digjaya ini, bahkan mereka secara rutin memberikan suguhan (sesajen) bagi mantan Raja Pakuan Pajajaran ini. Nama Prabu Siliwangi seakan masih hidup abadi sekalipun kerajaannnya hanya tinggal puing puingnya saja, salah satu diantaranya Prasasti Batutulis. Dari berbagai kelompok masyarakat atau perorangan yang mengklaim dirinya turunan langsung dari Prabu Siliwangi adalah masyarakat Kampung Urug. Kampung yang terletak di sebuah lembah yang subur ini masuk dalam wilayah admisnistrasi Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Menurut Kokolot Kampung Urug Tonggoh Abah Rajasa atau sering dipanggil dengan Kolot Kayod, Sejarah Kampung Urug erat kaitannya dengan zaman Eyang Prabu ( Silwangi?) saat timbul tenggelam ( tilem) yang kurun waktunya 5 tahun. "Saat berada di Kadu Jangkung, Eyang Prabu berkata bahwa suatu saat nanti kampung tersebut akan menjadi daerah pertanian," ujar Abah Kayod. Cerita atau Sejarah yang dipahami Kayod berasal dari kokolot sebelumnya. Saat belum menjadi orang yang dituakan, Rajasa sama sekali tidak mengetahui riwayat Kampung Urug, sekalipun kisah ini selalu diceritakan setiap tahun saat Perayaan Seren Pataunan. Kejadian serupa dialami Kokolot Urug Lebak, Abah Ukat yang baru setahun mengemban jabatan tersebut. Ukat sendiri sebelumnya seorang pedagang yang mencari nafkah di Pasar Leuwiliang. Masamudanya dihabiskan di luar Kampung Urug. Namun karena pergantian kokolot disana berdasarkan wangsit, jadilah ia orang yang dituakan di kampung yang konon katanya pernah ditinggali mantan orang nomor satu di negeri ini, Presiden Soekarno. Tingkah laku masyarakat Urug dalam bertani, takkan pernah lepas dari kisah (jasa ?) Nyi. Sari Pohaci atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Urug yang diwakili kokolotnya, Dewi Sri adalah putri dari Eyang Prabu yang meninggal saat usianya masih muda dan belum sempat menikah. Saat mendapatkan menstruasi pertamakali, darahnya tidak pernah berhenti sampai akhirnya meninggal dunia. Menurut mereka, Dewi Sri mendapat haid pertama kali pada hari Senin, makanya pantang bagi masyarakat Urug untuk mengurus padi pada hari tersebut. Sedang pada hari Jumat, darah menstruasinya disiram dengan air dan jatuh ke bumi. Hari Jumat inilah merupakan pantangan bagi petani Urug untuk pergi ke ladang atau sawah. Di hari ini sebagian besar penduduk yang masih menjaga tradisi para karuhun tidak akan pergi ke sawah, khususnya para pemegang adat. Yang masih sangat kental dan terlihat jelas atau yang membedakan budaya Kampung Urug dengan yang lainnya ialah adanya leuit atau lumbung padi di hampir seluruh rumah. Mungkin inilah gambaran nyata dari sisa budaya Sunda baheula atau bisa jadi zaman Prabu Siliwangi masih jeneng. Namun hal ini juga sebenarnya masih menyisakan perdebatan, karena menurut Budayawan Sunda kahot, Anis Djatisunda yang tinggal di Sukabumi, budaya pertanian "urang Sunda" mah, ngahuma dan lebih cenderung berpindah pindah tempat. Sementara budaya nyawah berasal dari Mataram. Sedang mengenai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi, Almarhum H. Komaruddin budayawan yang rajin menulis di salah satu harian local Bogor, sebelum meninggal pernah mengatakan kalau yang dimaksudkan oleh masyarakat Kampung Urug adalah Prabu Nilakendra. Menurut Ki Marko, dilihat dari kurun waktu dan kesamaan pribadi Nilakendra yang sering jalan jalan atau ngalalana, sangat dimungkinkan bukan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja. Lepas dari itu semua, Kampung Urug saat ini masih menjaga kelestarian budaya Sunda Buhun selain yang disebutkan diatas diantaranya masih adanya Rumah Panggung tempat karuhun ngareureuh, dan kebiasaan lain yang merupakan cerminan di masa lalu. Masuknya agama Islam ke Kampung Urug secara otomatis merubah pola hidup masyarakat setempat, meskipun masih ada sisa sisa "kebiasaan" karuhun yang dipertahankan. Gabungan dari kebiasaan yang sangat baik terlihat dalam upacara Seren Pataunan. Ada anggapan "haram" hukumnya menyatukan padi yang belum dikeluarkan zakatnya ke leuit dicampurkan dengan padi yang lama. Zakatnyapun cukup besar tidak kurang dari 10 persen dari hasil taninya. Inilah mungkin yang membuat Kampung Urug tidak pernah terkena krisis ekonomi, seperti yang diungkapkan isteri mantan kokolot Adang (sebelum Kolot Ukat) bahwa dengan satu kali panen cukup untuk hidup selama 2 tahun. Padahal jenis padi yang ditanam adalah pare gede yang umurnya 6 - 8 bulan dengan hasil panenan tidak lebih dari 3 ton permasakali tanamnya. Satu hal yang tidak mungkin bila dihitung dengan matematik dan kurang masuk akal bila dikalikan dengan biaya hidup saat ini. (dikutip dari http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/07/kisah-nyi-pohaci-dan-budaya-padi-versi.html) (dikutip dari kisah Budhi on Aug 4, '08 12:45 AM ) Rabu lalu, tepatnya tanggal 30 Juli 2008. Pas kebetulan hari libur aku coba paksakan kaki ini untuk menyusuri wilayah Kabupaten Bogor, tepatnya di daerah Cigudeg. Dengan berbekal informasi yang minim, aku dan temanku meluncur ke daerah yang menjadi titik target. Kampung Urug, sebuah perkampungan yang aku sendiri masih bingung kenapa dinamakan Kampung Urug. Dari beberapa Informasi, ada yang mengatakan perkampungan tersebut berada di sekitar Jasinga Bogor. Tanpa pikir panjang tepat pukul 10 pagi, aku ku tancap gas sepeda motorku. Dengan harapan biar cepat sampai dan bisa istirahat di perkampungan itu. Sesampainya di Jasinga, Kabupaten Bogor sekitar jam 1 siang. Istirahat untuk makan siang dan sekalian cari informasi tentang kampung itu. Glekk.. Kaget bukan kepalang euy,.. Setelah tanya sana, tanya sini, orang-orang di rumah makan itu tidak ada yang mengetahui letaknya Kampung Urug itu dimana? Makin pusing dibuatnya, malahan sebagian diantara yang aku tanya balik bertanya. "Memang Kampung Urug dimana ?" "Lho aku yang tanya koq situ tanya balik", pikirku dibalik otak yang sudah rada mumet dan bingung. Ada yang bilang dari Jasinga terus aja ke arah Rangkas. "Koq makin ke arah Baduy ?" . Tapi ada lagi yang bilang balik arah lagi ke daerah Cipatat. Akhirnya aku ambil yang ke arah Cipatat. Soalnya perkampungan ini masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Bogor. Setelah berbalik arah kurang lebih 20 KM, disebuah pertigaan kecil yang banyak tukang ojek, tepatnya daerah Cigudeg aku kembali bertanya oleh seorang penduduk yang sedang santai-santai di teras rumahnya. Beliau mengatakan ini memang jalur menuju Kampung Urug. Alangkah senangnya mendapat jawaban yang hampir mendekati titik terang. "Kira-Kira 25 KM lagi dari sini" Mataku membulat seakan tak yakin dengan ucapannya. Jika 25 KM dari Cigudeg itu sama saja perjalanan dari Jakarta ke Serpong. Atau dari rumahku ke kantorku. Tapi aku berdua tetap tak patah semangat. Ibarat orang jatuh cinta, Walaupun di gunung akan dikejar juga. tul ga? Kelokan demi kelokan dengan mudahnya aku lalui. Begitupun dengan tanjakan yang terjal maupun turunan Tajam aku lewati. Hanya dengan satu tujuan Silaturahmi dengan tokoh adat Kampung Urug. Batu-batu kerikil serta areal persawahan dan bukit yang memiliki view yang teramat sangat indah, menjadi saksi petualangan aku ini. Sayang aku ga punya cukup waktu untuk mengambil gambarnya. Ini dikarenakan waktu yang sudah menjelang sore. Dengan sisa semangat yang masih tersisa akhirnya ketemu sebuah PLANG Kampung Urug. Membelok ke kiri dengan kemiringan yang bisa aku rasakan sekitar 45 derajat. Dan terus meluncur ke bawah hingga sampailah di sebuah Gedong Gede. Pencarian kami pun membuahkan hasil pada jam setengah 4 sore. Ga kebayang, dari jam 10 hingga jam 1/2 4 sore baru ketemu kampung yang dicari. Di Gedong Gede, Sebuah bangunan besar dengan corak warna hijau kuning yang cukup mencolok. Selain Gedong Gede disana juga ada sebuah bangunan panggung dengan beberapa anak buah tangga. Bangunan tersebut tidak ada seorangpun yang boleh masuk kecuali Abah. Tepat di belakang Bangunan panggung ada Gedong Kecil. Letaknya simetris lurus dari Pintu Gedong Gede-Bangunan Panggung-Gedong Kecil. Menurut penuturan Abah Kolot, bangunan itu merupakan seseorang yang sejak dalam kandungan sudah mendisain bangunan dan tata letak perkampungan Urug. Bangunan tersebut tidak sembarang orang boleh masuk. Bahkan Abah sendiri ada waktu khususnya bila ingin masuk ke gedong kecil tersebut. Di Arela persawahan Abah ada sebuah prasasti peninggalan dari Kerajaan Padjajaran. Kehidupan masyarakat Kampung Urug sudah moder. Listrik sudah masuk ke kampung itu tahun 1996. Bangunan rumah-rumah adatnya hanya menyisakan beberapa buah saja. Sisanya rumah-rumah disana sudah permanen. Terlepas dari usur Moderinitas yang terjadi di Kampung Urug adalah sebuah perkampungan yang masih menjaga budaya Adatnya. kami beruntung bisa bertemu dengan Abah Kolot. Abah Kolot ini merupakan Kepala Adat di Kampung Urug. Beliau di segani dan di hormati oleh banyak orang. Setelah mengutarakan maksud dan tujuan kami, kami pun diterima dengan hormat dan suka cita. Singkat cerita sampailah kepada pembicaraan yang serius. Beberapa pertanyaan terlontar dari mulut kami. Mengenai sejarah kampung ini hingga mengarah kepada kedigdayaan kerajaan Padjajaran abad ke 15 lampau. Dilihat dari silsilah yang beliau utarakan, Abah merupakan penerus Kerajaan Padjajaran generasi ke 11 dari keturunan Prabu Siliwangi ke 2, yang merupakan Raja ke 5 (kalau tidak salah) Kerajaan Padjajaran. Sedangkan Ciptagelar juga merupakan generasi penerus dari keturunan kerajaan Padjajaran, tetapi beliau tidak mengungkapkan generasi keberapanya. Tetapi beliau mewanti-wanti kami untuk tidak menceritakan dimana letak istana Kerajaan Padjajaran. "Nanti kalau sudah waktunya kamu pasti tau sendiri dimana letak kerajaan padjajaran." sambil menghisap rokok dalam-dalam, Abah melanjutkan kembali cerita menganai muasal Kerajaan Padjajaran. Jika aku membandingkan dengan sejarah yang aku pelajari, hingga kini aku pun juga belum tahu dimana letak persisnya kerajaan Padjajaran. Mungkin di kampung ini atau mungkin pula di pusat kota bogor sekarang ini. Entahlah suatu saat pasti akan ada penelitian-penelitian mengenai itu pikirku diam-diam. di era 2000-an pernah terdengar publikasi mengenai letak Istana Padjajaran. Saat itu kalau tidak salah Menteri Agama yang menjabat di era itu menyebutkan bahwa ada sesuatu yang sangat bernilai di situs Batu Tulis Ciarenteun. Tapi perlahan publikasi itu surut dan belum menemukan titik terang. Asal kata Padjajaran sendiri berasal dari sebuah pohon yang berada di wilayah Bogor waktu itu, tepat persisnya abah belum menceritakannya. dari beberapa literatur yang aku baca adalah pohon Paku Djajar. Pohon tersebut ditebang oleh 200 orang Arab, saat penebangan berlangsung 160 orang Arab tersebut menghilang tidak diketahui rimbanya. Yang tersisa hanyalah 40 Orang yang keturunannya sekarang ini menempati pedalaman desa Kenekes atau yang lebih kita kenal dengan Baduy. Hal ini menimbulkan keingin tahuanku, pertanyaan demi pertanyaan sekelebat muncul silih berganti. Aku coba mencari makna yang tersirat dari jawaban-jawaban yang Abah berikan. Hingga kami pun coba mengkaitkan antara Kampung Urug, Ciptagelar hingga Baduy dengan Kerajaan Padjajaran. Seperti yang aku tulis sebelumnya di MP ini sesaat setelah kunjungan ke Baduy beberapa waktu yang lalu. Jaro Sani mengungkapkan bahwa orang-orang Baduy dulu merupakan pendiri Kerajaan Padjajaran. Jika hal tersebut demikian dan dikaitkan dengan pernyataan Abah Kolot, maka dapat ditarik benang merah yang sesuai yaitu Orang Arab yang menebang pohon Padjajaran dan sisanya bermukim di lembah pegunungan Kendeng merupakan orang-orang yang turut serta membangun sebuah kerajaan di Bogor (Padjajaran). Namun hal itu masih perlu sebuah penelitian yang mendalam. Alm Abah Anom, Kepala Adat Ciptagelar, saat kunjungan kami beberapa tahun lampau saat beliau masih ada mengungkapkan bahwa beliau dengan masyarakatnya selalu berpindah hingga nanti kepindahannya yang ke-14 baru akan menetap. Letak persisnya sendiri alm Abah Anom tidak memberikan jawaban. Yang pasti jika nanti tiba waktunya pasti akan tahu sendiri. Nah dari situ aku coba kaitkan dengan pernyataan Abah Kolot, Bahwa Kampung Urug merupakan walikan aksara dan juga Pancer Bumi atau pusat bumi atau bisa jadi pusat dari kasepuhan adat pedalaman masyarakat keturunan Padjajaran. Walikan aksara yang dimaksud adalah kata Urug yang dibalik menjadi Guru. Jika hal demikian yang dimaksud bisa saya artikan bahwa Guru merupakan seorang tokoh panutan yang ajarannya selalu ditiru oleh siswanya. Dimana nantinya Masyarakat Ciptagelar akan berpindah mendekati Saudara Tua dan Masyarakat baduy terlepas dari kehidupan prasejarah bila pekerjaannya telah usai.Apa makna yang tersurat dari pernyataan "pekerjaannya telah usai" tersebut, aku sendiri tidak tahu. Waktu sudah menjelang magrib, aku pun beranjak untuk segera pulang. Maklum esok harinya harus memulai rutinitas seperti biasa. Kami pun diperkenankan untuk melihat sekeliling Kampung dan diijinkan untuk memotret. Bahkan kami diijinkan untuk masuk hingga ke depan pintu Gedong Kecil, yang tidak sembarang orang boleh masuk ke pekarangannya. Tetapi hati ini belum siap. Kami hanya mengambil beberapa gambar saja dari depan gerbang pekarangan. Setelah itu kami pamitan undur diri dan tak lupa mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Abah serta beberapa orang yang ada di Gedong Gede. Abah pun tak lupa berpesan kepada kami jika suatu waktu bisa berkunjung kembali dan mendoakan kami semoga dilimpahkan kemudahan rejeki dan diberi kemudahan dalam menjalankan segala aktivitas. Serta sebuah pesan yang teramat sangat sakral yang kami peroleh saat berbincang-bincang di Gedong Gede. Kami pun segera pulang menyusuri tanjakan terjal berkerikil. Kembali berkelok-kelok hingga sampai Jakarta. Itulah sepenggal kisah petualangan aku, suatu saat aku akan berkunjung lagi ke perkampungan itu.(http://saloute.multiply.com/journal/item/36/Menelusuri_Jejak_Kerajaan_Padjajaran_di_Kampung_Urug) Kampung Urug Lokasi dan Keadaan Alam Secara administratif, Kampung Urug termasuk ke dalam wilayah Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Dialiri tiga buah sungai, yakni Sungai Ciapus, Sungai Cidurian, dan anak sungai Ciapus. Luas wilayahnya berbatasan dengan daerah-daerah sekitarnya, yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Tajur; sebelah selatan berbatasan dengan Mandaya; sebelah barat berbatasan dengan Pasirmadang; dan di sebelah timur berbatasan dengan Pasirpeuteuy. Keadaan temperatur I suhu udara di Kampung Urug berkisar antara 24-28 derajat celcius dengan suhu udara pada slang hari rata-rata 28 derajat celcius dan malan hari rata-rata sekitar 24 derajat celcius. Beriklim tropis terdiri atas dua musim, yaitu musim hujan jatuh pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau jatuh pada bulan April-September. Musim penghujan berlangsung selama Iebih kurang enam bulan dengan angka rata-rata curah hujan yang tinggi mengakibatkan tanah pertanian di Kampung Urug dan sekitarnya menjadi subur. Jarak tempuh Kampung Urug dari Ibukota provinsi Jawa Barat lebih kurang 165 kilometer ke arag barat. Jarak dari Ibukota Kabupaten Bogor Iebih kurang 48 kilometer, dari kota kecamatan Sukajaya lebih kurang 6 kilometer, sedangkan dari kantor Desa Kiarapandak Iebih kurang 1,2 kilometer. Kondisi jalan dari kantor kecamatan Sukajaya ke Kampung Urug berbelok-belok naik turun mengikuti lereng bukit dengan badan jalan yang sempit. Sepanjang jalan dari kantor kecamatan ke kantor kepala desa Kiarapandak sudah beraspal, namun sebagian besar rusak berat. Jalan dari kantor desa ke kampung Urug, beraspal dan kondisinya cukup baik. Ke lokasi dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Adapun menggunakan angkutan umum dari pertigaan JasingaLeuwiliang Leuwiliang menuju ke Cipatat. Dipertigaan jalan raya Cipatat dan jalan desa bisa menggunakan ojeg sampai ke kampung Urug, atau bisa juga menggunakan mobil Carry dari Jasinga - Leuwiliang sampai ke kampung Urug. Mobilitas penduduk dari dalam ke luar atau dari luar ke dalam tidak begitu tinggi sehingga eksistensinya tidak mudah kentara dari Iuar. Akan tetapi tidak berarti sikap warga setempat bersifat tertutup kepada para pendatang, hal ini terbukti dari sikap ramah tamah mereka yang spontan kepada para tamu ataupun orang luar yang akan menetap di sana. Sementara itu ada sebagian warga yang merantau ke Bogor atau Jakarta untuk mencari nafkah namun jumlahnya sedikit. (dikutip dari http://rancah.blogspot.com/2008/01/kampung-adat-dan-rumah-adat-di-jawa.html) KAMPUNG ADAT DI JAWA BARAT 1. Kampung Cikondang 2. Kampung Kuta 3. Kampung Mahmud 4. Kampung Urug 5. Kampung Dukuh 6. Kampung Naga 7. Kampung Pulo 8. Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar | |
0 comments:
Post a Comment